Aku sekarang tidak tahu lagi di mana dalam pelajaran di sekolah-sekolah kita diajarkan budi pekerti. Ada yang mengatakan bahwa pelajaran budi pekerti embedded di dalam setiap pelajaran yang ada dan juga di dalam keseharian laku. Namun aku masih sering penasaran karena kenyataan yang aku temui sering kali bertentangan dengan yang seharusnya. Salah satu topiknya adalah hal terkait menghargai orang lain. Karena itu aku tak jemu menanyakan kepada para mahasiswaku apakah kalian menghargai orang lain? Bagaimana bentuk paling sederhananya menurut kalian? Berbagai versi aku memperoleh jawabannya.
Dari streats4study.com |
“Saya menghargai orang lain pak, misalnya saya mempersilakan orang tua lebih dahulu mengambil sesuatu,” tukas seorang mahasiswaku. Aku mengomentari bahwa lakumu terhadap orang tua sudah baik. Akan tetapi, aku meneruskan komentarku, pernahkah kamu menyerobot antrian apapun seperti membayar SPP di loket pembayaran? Aku menambahkan lagi bahwa jawabanmu tak diperlukan; yang diinginkan adalah perenungan seandainya itu telah dilakukan. Hendaknya disadari dari lubuk hati bahwa tidak hanya kita yang memiliki keperluan-keperluan lain selanjutnya. Orang-orang lain yang di dalam antrian tersebut juga sama; mereka pun mempunyai keperluan-keperluan lain selanjutnya. Dengan kita menyerobot berarti kita merampas hak-hak mereka untuk memenuhi keperluan-keperluan lain selanjutnya.
Para mahasiswaku yang lain mengatakan, “kami tidak duduk atau berjalan bergerombol di sepanjang gang atau koridor tempat berjalan kaki di dalam kampus sehingga orang lain yang melintas tidak terganggu.” Yang kalian sebutkan itu sudah oke. Namun, di ruang lain, masihkah kalian berjalan berombongan sehingga menyita sebagian badan jalan bahkan lebih dari setengahnya yang berakibat kendaraan sukar melintas? Bahkan kalian pura-pura tidak tahu dan tidak melihat kehadiran kendaraan yang akan melintas itu. Bukan hanya kalian yang memiliki keperluan, orang-orang di kendaraan tersebut juga sama memiliki keperluan seperti kalian. Karena ada keperluan, orang-orang tersebut bergerak pindah menggunakan kendaraan. Dengan berjalan berombongan menyita sebagian besar badan jalan, maka kalian juga menafikan keperluan-keperluan orang lain.
“Menyapa dosen maupun karyawan ketika berpapasan di sekitar kampus,” tutur para mahasiswaku yang lain. Penghargaan kalian di koordinat ruang-waktu kampus tersebut adalah sesuatu yang sudah benar. Adakah kalian mengulangi hal yang sama ketika kalian berpapasan di koordinat ruang-waktu berbeda seperti di mal, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya? Seandainya perlakuan kalian di kampus berbeda dengan di luar kampus, maka nampaknya kalian menyapa berkaitan dengan adanya keperluan kalian saja seperti meminta penjelasan bahan kuliah, meminta surat keterangan, dan lain-lain. Kalau ini terjadi, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ketinggian adab. Dengan menyapa para dosen maupun karyawan yang kalian kenal, kalian telah menunjukkan kebaikan budi pekerti.
Dari freewebs.com |
Menurutku, bentuk yang paling sederhana untuk menghargai orang lain adalah tidak usil mengganggu barang orang lain. Aku seringkali tidak habis pikir mengapa kita seringkali usil untuk menyentuh kendaraan orang lain meskipun dengan hanya satu telunjuk ketika sambil berlalu. Satu ujung telunjuk meninggalkan jejak karena lemak yang ada di ujung telunjuk kita tersebut. Semestinya kita berpikir bahwa pemilik kendaraan telah bersusah payah mengeluarkan energi maupun uangnya untuk mencuci kendaraan tersebut hingga indah dipandang mata. Kalau kita berpikir lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya pemilik kendaraan tersebut telah bersedekah kepada kita melalui keindahan yang diberikannya. Bahkan yang lebih buruk dari itu yaitu meninggalkan goresan-goresan di dinding kendaraan tersebut. Dengan merenung lebih dalam maka sesungguhnya tidak ada hak kita untuk menyentuh kendaraan orang lain tanpa alasan yang jelas. Yang jelas ada adalah kewajiban kita untuk menghargai hak kepemilikan orang lain. Pelajaran inilah yang aku pernah dapatkan ketika aku dahulu berada di Jepang.
Bahkan pelajaran yang lebih aku juga telah dapatkan. Aku baru beberapa bulan saja bermukim di Higashi-Hiroshima ketika gempa besar Kobe terjadi dengan kerusakan yang begitu parah di awal tahun1995. Awal tahun di Jepang adalah musim dingin yang amat menusuk tulang. Di televisi aku melihat mereka, para pengungsi, dengan sabar mengantri untuk mendapatkan jatah selimut dan makanan meskipun mereka terlihat kedinginan dan tentu juga kelaparan. Para pengungsi itu saling menghargai; ada hak orang lain yang harus dihargai selain hak pribadi kita sendiri. Alangkah tinggi adab dan indah hidup kita bila episode ini ada juga di dalam jati diri bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar