Baiklah, aku ingin menceritakan pengalamanku menimba ilmu di negeri saudara tertua, Jepang. Tiba saatnya memulai aktivitas di tahun yang baru setelah melewati libur tahun baru. Ini adalah tahun pertama aku memulai kehidupan akademik di program doktorku di Jepang. Seperti juga di tempat-tempat lain di Jepang, pembimbingku mengumpulkan semua mahasiswa, termasuk aku. Beliau pun berpidato dalam prosesi itu.
“Kalian mesti tahu bahwa kesejahteraan yang kalian nikmati sekarang bukanlah hasil jerih payah kalian,” demikian sensei menyatakan. Aku pun merekam lebih lanjut bahwa jerih payah bapak-ibu kalian serta kakek-nenek kalian dan bahkan ayah-ibu dari kakek-nenek kalian yang telah mengantarkan kemakmuran ini. Usaha yang panjang dan lama untuk mewujudkan kesejahteraan yang dapat dinikmati generasi muda Jepang sekarang.
Tangki raksasa penyimpan gas di Jepang |
“Kita sekarang tetap merasa hangat ketika musim dingin dan sejuk saat musim panas. Dari mana sumber energi itu?” lanjutnya bertanya. Beliau pun menjelaskan bahwa sumber energi gas alam yang digunakan Jepang berasal dari negerinya Rijal-san sambil menunjuk ke arahku dan kemudian tersenyum. Jepang tidak memiliki sumber energi ini sedikitpun.
Industri mobil Jepang |
“Sekarang industri mobil kita nomor satu di dunia. Dari mana aluminium yang digunakan oleh industry mobil kita?” demikian beliau bertanya lagi. Beliau lebih lanjut bercerita bahwa negerinya Rijal-san lah yang memiliki sumber daya mineral ini. Tempatnya di Asahan, Sumatera Utara. Jepang juga tidak memiliki sumber mineral ini sedikitpun.
“Nah, kalau sumber daya energi dan sumber daya mineral yang membangun kesejahteraan kita tidak miliki, maka dari mana sumber kesejahteraan kita?” pertanyaan pamungkas beliau ajukan lagi. Beliau pun menjawab sendiri bahwa sumbernya adalah kepala. Di dalam kepala kita ini ada otak yang mampu memikirkan dan menghasilkan inovasi dan bahkan invensi yang membawa kesejahteraan kita sekarang. Dengan ketiadaan sumber daya energi dan sumber daya mineral pun kesejahteraan dapat terwujud berkat inovasi dan invensi yang dilahirkan dari pemikiran kita.
Produksi gas LNG |
Smelter aluminium |
Tenaga ahli berkualitas |
“Perhatikan, Rijal-san yang kaya segala macam sumber daya alam dan sekarang berada di sini menuntut ilmu. Kalau ada sejuta orang seperti Rijal-san maka sangat mungkin kita kalah pada waktunya nanti.” Aku pun memahami logika ini. Perbandingan yang begitu sederhana. Di lima puluh tahun ke depan, Indonesia memiliki sumber daya alam + sumber daya manusia berkualitas sedangkan Jepang hanya memiliki sumber daya manusia. Yang terjadi pasti Indonesia mengalahkan Jepang.
Petuah senada di atas tidak hanya disampaikan di prosesi permulaan bekerja di tahun yang baru di suasana musim dingin awal bulan Januari dengan meneriakkan slogan banzai … banzai … banzai tetapi juga pada acara hanami di suasana musim semi bulan April.
Kalau sudah membandingkan seperti ini, masihkah kita meyakini transfer teknologi diberikan gratis? Kalau pun ada transfer teknologi, maka proses transfer tersebut harus selalu dihargakan dan tidak akan semua frontier technology yang merupakan teknologi kunci akan diberikan. Adalah tugas kolektif kita sebagai bangsa untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berpendidikan tinggi yang akan menghasilkan inovasi dan invensi. Pada gilirannya kelak inovasi dan invensi akan menghasilkan kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh generasi depan kita.
Terima kasih atas motivasinya, Pak.
BalasHapustetap semangat tina ... bengkalis, sumatra, bahkan indonesia perlu kepalamu ...
BalasHapusSaya setuju dengan Bapak, transfer teknologi tidak ada Pak. Sampai dunia kiamat juga. Yang ada dan harus dilakukan adalah "mencuri teknologi". Seperti yang dilakukan oleh Jepang di tahun 1960-1970-an dan China saat ini.
BalasHapusSalam,
Zulfiadi Zulhan
Terima kasih omentarnya pak Zulfiadi Zulhan. "Mencuri" teknologi jauh berbeda dengan mencuri pisang ya pak. Yang terdahulu memerlukan otak-otak cerdas untuk melakukannya.
BalasHapus