Minggu, 27 Maret 2011

Berjuang Sampai Sampah Penghabisan

Di penghujung Maret adalah hari-hari penting bagi rekan-rekan yang berkuliah di Jepang. Pertama, itu artinya mereka akan segera memulai tahun akademik per 1 April dan persiapan alias junbi untuk ini harus sudah dilakukan. Kedua, itu juga berarti bahwa mereka segera akan diwisuda dan hadir di sotsugyou pa-ti atau graduation party bersama sensei dan teman-teman lab. Ketiga, arti lainnya adalah mereka bersiap-siap akan memasuki dunia kerja yang baru di Jepang atau di manapun atau pulang ke negeri tercinta Indonesia yang gemah ripah repeh rapih.

Dari n-ichi.com
Adalah status fesbuk seorang kolega di pekan ketiga Maret 2011 yang berbunyi “berjuang sampai sampah penghabisan” yang menginspirasiku.  Dia adalah seorang alumni ITB, program sarjana dan magister fisika, dan juga doktor dari Universitas Nagoya. Kemudian ditimpali oleh rekan lainnya yang memberikan terjemahan dalam bahasa Jepang: saigo gomi made… ganbarimasu!  Status itu, menurut hematku, adalah pernyataan sadar hasil dari akulturasi budaya Jepang yang diterimanya dengan budaya Indonesia yang melekat di dalam dirinya. Budaya asalnya Indonesia, yang masih harus berjuang terus menerus dan terkenal dengan slogan berjuang sampai titik darah penghabisan. Budaya baru Jepang yang diterimanya, yang tabu dan aib meninggalkan sampah atau gomi di mana pun dan kapan pun. Kalau tak ada tempat sampah, maka sampah itu pun dibawa kemana pun pergi hingga menemukan tempatnya.  

“Bekerja keras hingga seluruh kemampuan kalian curahkan, saya yakin kalian bisa dan biasa,” demikian aku berkata untuk meyakinkan para mahasiswaku. Laporan-laporan praktikum adalah salah satu contoh bagaimana kalian bekerja keras menyelesaikannya. Sejak awal di kampus ini hingga di pertengahan perjalanan kalian dalam menyelesaikan program sarjana, hampir dipastikan tiada minggu tanpa praktikum. Aku juga mengamati bahwa menyelesaikan laporan dalam tiga-empat hari adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa. Bahkan tak jarang sore ini kalian melakukan praktikum dan esok paginya laporan harus dikumpulkan. Hanya dalam semalam laporan beres; kalian pun menjadi super-Sangkuriang karena kemampuan kalian sudah melebihi Sangkuriang!

Dari knox.vic.gov.au
“Unit-unit kegiatan, himpunan-himpunan, maupun seminar atau workshop adalah sebagian dari tempat-tempat penting untuk melatih keterampilan kalian, tidak hanya soft skills namun juga hard skills,” aku kemudian melanjutkan. Sepanjang hari bahkan hingga malam dan hari libur pun aku melihat bahwa kalian terlihat berkumpul di unit-unit kegiatan maupun himpunan. Kadang pembahasan kalian terlihat sangat serius seperti para dosen kalian sedang mendiskusikan suatu topik kuliah. Di lain kesempatan teriakan kalian terdengar seperti para pedagang pasar dengan seribu satu suara menjajakan dagangan mereka. Namun yang pasti aku melihat bahwa kalian sedang menyiapkan suatu kegiatan.

“Apapun kegiatan yang kita lakukan, sekurang-kurangnya ada tiga tahap yang harus kita lalui, yaitu persiapan, pelaksanaan, penutupan,” aku mengingatkan proses yang harus dilalui dalam berkegiatan. Tentu saja tanpa persiapan yang baik, kalian menyadari bahwa kesuksesan pelaksanaan kegiatan tidak dapat diraih. Berbagai pekerjaan teknis maupun non teknis harus dilakukan di dalam tahap persiapan. Salah satunya adalah membuat pengumuman yang mengundang khalayak untuk datang di hari H. Dua langkah yang harus dilaksanakan untuk ini yaitu membuat undangan dan menyampaikannya.

Kalian juga mengetahui bahwa cara mengundang massal paling populer di kampus ini adalah menempelkan selebaran dan pamflet dan bahkan menggantungkan spanduk serta mendirikan baliho. Aku memberikan pandangan bahwa cara bijak, baik, dan santun mengundang secara massal adalah menempatkan berbagai bentuk undangan tersebut pada tempatnya. Kita semua melihat bahwa spanduk dan baliho dapat dikatakan sudah ditempatkan pada tempat peruntukannya. Namun hal sebaliknya masih kita jumpai dengan penempelan selebaran atau pamflet. Masih banyak tiang-tiang dan dinding-dinding gedung kita yang dijadikan sebagai tempat penempelan selebaran tersebut.

“Satu-dua hari sebelum hari H pelaksanaan kegiatan, kesibukan kalian berada pada puncaknya,” aku menyadarkan para mahasiswaku atas intensitas kesibukan mereka. Beragam material digunakan; ada kayu, bambu, plastik, dan kertas. Seluruh sisa material yang tidak lagi digunakan disingkirkan dan kawasan tempat pelaksanaan menjadi tempat terbersih dibanding kawasan-kawasan lain di kampus hingga saat S kegiatan tersebut resmi dibuka. Lagi-lagi, aku memberi pandangan bahwa salah satu cara bijak, baik, dan santun menghargai para tamu yang datang di kegiatan tersebut adalah menjaga tempat kegiatan tersebut tetap bersih. Terlebih lagi bila kegiatan tersebut adalah bazar makanan.

Aku menyarankan bahwa ada sejumlah tempat sampah tersedia di kawasan pelaksanaan kegiatan yang terjangkau oleh para tamu tersebut. Kemudian, ada petunjuk yang terpasang dan mudah terbaca yang menghimbau para tamu membuang sampah pada tempatnya. Selanjutnya, ada yang bertugas dari waktu ke waktu memantau tempat-tempat sampah tersebut apakah sudah penuh. Jikalau sudah penuh, sampahnya diambil dan tempat sampah tersebut disiapkan agar dapat digunakan kembali. Dapat dipastikan kawasan kegiatan tersebut selalu bersih dan disukai para tamu yang datang berkunjung.   

“Akhir pelaksanaan kegiatan adalah anti klimaks dan tetap sisakan energi untuk memberikan akhir yang baik, husnul khotimah,” sambil bergurau aku menyarankan. Aku juga menasihati agar mengakhiri kebiasaan sampah bertebaran di mana-mana usai pesta. Setengah menggugat aku mengatakan bahwa akhir yang baik adalah keinginan kita semua, tetapi mengapa dilakukan parsial dan hanya terkait dengan kematian. Sudah semestinya kita secara holistik, apapun kegiatan kita diakhiri juga dengan baik yaitu tiada sampah sebagai peninggalan kegiatan kita.

Mari kita menyelesaikan kegiatan kita dengan baik. Di dalam persiapan kegiatan kita, sebaiknya dicatat tempat-tempat di mana kita telah menempelkan selebaran atau pamflet dan menggantung spanduk atau mendirikan baliho. Usai kegiatan, seluruh selebaran atau pamflet, spanduk, dan baliho hanyalah sampah-sampah. Karena itu, ayo kita ciptakan kebudayaan baru melepaskan selebaran dan pamflet tersebut, menurunkan spanduk dan baliho setelah usai kegiatan. Berjuang hingga titik darah penghabisan tidak hanya untuk pelaksanaan kegiatannya saja tetapi juga untuk sampahnya. Keep our campus clean. Mari kita beri contoh untuk lingkungan lainnya.

Jumat, 25 Maret 2011

Bangunkan Keingintahuan dalam Diri Mereka

Albert Einstein 
(dari http://nobelprize.org/)

Dalam beberapa kesempatan, di hadapan para guru SMA dan MA yang mengambil program Magister Pengajaran Fisika, aku bertanya kepada mereka, “maukah kita menjadikan anak-anak didik kita di SMA dan MA suatu saat menjadi fisikawan sangat terkenal sekelas Albert Einstein dan Abdus Salam, yang keduanya memperoleh hadiah Nobel?” Semua mereka, tak ada keraguan, menjawab mau sekali. Akan tetapi, mereka pun balik menanyakan kepadaku tentang bagaimana caranya dan bahkan meminta kiat-kiat agar menjadi ilmuwan terkenal.


Abdus Salam
(dari http://nobelprize.org/)
“Baiklah, selama satu semester ini kita akan belajar Listrik-Magnet dan sekarang tentang gaya Coulomb,” aku memulai untuk memokuskan pembahasan interaksi partikel bermuatan listrik. Jika dua buah partikel bermuatan masing-masing Q1 dan Q2 berada di suatu kedudukan yang berbeda terpisah sejauh r, maka semua mahasiswa Magister Pengajaran Fisika itu pun menjawab dengan tepat. Gaya Coulomb yang dirasakan oleh masing-masing muatan sebanding dengan perkalian kedua muatan Q1 dan Q2, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak pemisahan r tersebut. Jikalau kedua partikel tersebut bermuatan sejenis, maka kedua partikel tersebut mengalami gaya tolak-menolak. Sebaliknya, kedua partikel tersebut mengalami gaya tarik jika kedua partikel bermuatan berlawanan. 

“Coba ingat kembali di dalam pembahasan Mekanika tentang interaksi dua buah massa,” aku kemudian mengingatkan mereka. Dua buah massa masing-masing M1 dan M2 berada di suatu kedudukan yang berbeda terpisah sejauh r. Mereka pun dapat menjawab dengan baik yaitu bahwa interaksinya dikenal sebagai hukum gravitasi Newton. Gaya gravitasi yang dialami masing-masing massa tersebut sebanding dengan perkalian kedua massa M1 dan M2, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak pemisahan r kedua massa tersebut. Hingga saat ini kedua massa tersebut memiliki tanda sama dan didefinisikan positif dan gayanya saling menarik. 

“Pernyataan gaya Coulomb mirip dengan gaya gravitasi yang diberikan oleh hukum gravitasi Newton,” demikian mereka dapat menyimpulkan setelah melihat kedua persamaan gaya tersebut. Namun demikian, aku menambahkan bahwa kalau kita menganggap bahwa hukum Coulomb yang memberikan gaya Coulomb tersebut sempurna, maka hukum gravitasi Newton masih belum sempurna. Pertama, di dalam hukum gravitasi Newton hingga saat ini tidak ada massa negatif. Kedua, sebagai akibatnya tidak ada gaya tolak-menolak antara kedua massa berlawanan tanda karena ketiadaan massa negatif. Aku kemudian menekankan bahwa bagian ini hampir dipastikan tidak pernah disinggung maupun dijelaskan, apalagi didiskusikan.

Dari kedua pembahasan tersebut, gaya Coulomb dan gaya gravitasi, bapak dan ibu guru SMA dan MA dapat memulai pengajaran menggunakan analogi. Di SMA dan MA, materi yang diajarkan lebih dahulu adalah gaya gravitasi baru kemudian gaya Coulomb. Sudah semestinya gaya gravitasi ini diajarkan sebaik mungkin hingga para muridnya mengerti dengan baik. Ketika materi pengajaran berikutnya adalah gaya Coulomb, maka metoda analogi yang memanfaatkan gaya gravitasi dapat digunakan. Kemudian bapak dan ibu guru membuat tabel analogi: kolom kiri adalah gaya gravitasi dan kolom kanannya adalah gaya Coulomb. Ada dua baris untuk masing-masing kolom, yang diperuntukkan gaya tarik-menarik dan gaya tolak-menolak. Setelah diisi, kemudian para murid diminta mengidentifikasi apa yang tidak ada di dalam tabel itu. Bapak dan ibu tentu sudah mengetahui bahwa yang tidak ada adalah gaya gravitasi yang “tolak-menolak” karena tidak ada massa negatif.

Terbitkan dan bangunkan keingintahuan mereka para murid yang bapak dan ibu didik di sekolah. Bapak dan ibu guru dapat menanyakan apakah memang massa negatif tidak ada? Mengapa ada muatan negatif mendampingi muatan positif sehingga gaya Coulomb dapat tarik menarik maupun tolak-menolak? Bapak dan ibu guru pun dipersilakan membuat kalimat-kalimat maupun pernyataan-pernyataan sendiri sehingga keingintahuan mereka terbit dan bangun. Yang penting adalah bahwa para murid bapak dan ibu kemudian segera duduk di depan komputer dan meminta bantuan Paman Google untuk mencari dengan kata kunci “massa negatif”. Tentu, Paman Google pun sangat senang mencari kata kunci tersebut di manapun di seluruh penjuru dunia dan menyajikannya untuk para murid tersebut. 

Barangkali mereka akan mendapatkan kata kunci “massa negatif” tersebut di ensiklopedia gratis semacam Wikipedia atau beragam ensiklopedia lainnya atau bahkan artikel-artikel yang ditulis di jurnal ilmiah. Kebebasan mereka mendapatkan informasi tentang “massa negatif”, yang masih dicari oleh banyak fisikawan di dunia, tentu menjadi pengalaman tersendiri bagi para murid bapak dan ibu yang seolah sedang menjadi fisikawan dan berada di antara para fisikawan terkenal. Dengan mereka dikondisikan seperti merasa di antara para fisikawan terkenal tersebut, suatu saat mungkin bapak dan ibu akan memanen salah satu di antara mereka betul-betul menjadi fisikawan kelas dunia yang pada gilirannya akan dianugerahi Hadiah Nobel Fisika dari Indonesia. Who knows dan wallahu a’lam.     

Minggu, 13 Maret 2011

Semangat Menghargai Orang Lain

Aku sekarang tidak tahu lagi di mana dalam pelajaran di sekolah-sekolah kita diajarkan budi pekerti. Ada yang mengatakan bahwa pelajaran budi pekerti embedded di dalam setiap pelajaran yang ada dan juga di dalam keseharian laku. Namun aku masih sering penasaran karena kenyataan yang aku temui sering kali bertentangan dengan yang seharusnya. Salah satu topiknya adalah hal terkait menghargai orang lain. Karena itu aku tak jemu menanyakan kepada para mahasiswaku apakah kalian menghargai orang lain? Bagaimana bentuk paling sederhananya menurut kalian? Berbagai versi aku memperoleh jawabannya.

Dari streats4study.com
 “Saya menghargai orang lain pak, misalnya saya mempersilakan orang tua lebih dahulu mengambil sesuatu,” tukas seorang mahasiswaku. Aku mengomentari bahwa lakumu terhadap orang tua sudah baik. Akan tetapi, aku meneruskan komentarku, pernahkah kamu menyerobot antrian apapun seperti membayar SPP di loket pembayaran? Aku menambahkan lagi bahwa jawabanmu tak diperlukan; yang diinginkan adalah perenungan seandainya itu telah dilakukan. Hendaknya disadari dari lubuk hati bahwa tidak hanya kita yang memiliki keperluan-keperluan lain selanjutnya. Orang-orang lain yang di dalam antrian tersebut juga sama; mereka pun mempunyai keperluan-keperluan lain selanjutnya. Dengan kita menyerobot berarti kita merampas hak-hak mereka untuk memenuhi keperluan-keperluan lain selanjutnya.

Para mahasiswaku yang lain mengatakan, “kami tidak duduk atau berjalan bergerombol di sepanjang gang atau koridor tempat berjalan kaki di dalam kampus sehingga orang lain yang melintas tidak terganggu.” Yang kalian sebutkan itu sudah oke. Namun, di ruang lain, masihkah kalian berjalan berombongan sehingga menyita sebagian badan jalan bahkan lebih dari setengahnya yang berakibat kendaraan sukar melintas? Bahkan kalian pura-pura tidak tahu dan tidak melihat kehadiran kendaraan yang akan melintas itu. Bukan hanya kalian yang memiliki keperluan, orang-orang di kendaraan tersebut juga sama memiliki keperluan seperti kalian. Karena ada keperluan, orang-orang tersebut bergerak pindah menggunakan kendaraan. Dengan berjalan berombongan menyita sebagian besar badan jalan, maka kalian juga menafikan keperluan-keperluan orang lain.

“Menyapa dosen maupun karyawan ketika berpapasan di sekitar kampus,” tutur para mahasiswaku yang lain. Penghargaan kalian di koordinat ruang-waktu kampus tersebut adalah sesuatu yang sudah benar. Adakah kalian mengulangi hal yang sama ketika kalian berpapasan di koordinat ruang-waktu berbeda seperti di mal, pasar, dan tempat-tempat umum lainnya? Seandainya perlakuan kalian di kampus berbeda dengan di luar kampus, maka nampaknya kalian menyapa berkaitan dengan adanya keperluan kalian saja seperti meminta penjelasan bahan kuliah, meminta surat keterangan, dan lain-lain. Kalau ini terjadi, maka sesungguhnya kita tidak memiliki ketinggian adab. Dengan menyapa para dosen maupun karyawan yang kalian kenal, kalian telah menunjukkan kebaikan budi pekerti.

Dari freewebs.com
Menurutku, bentuk yang paling sederhana untuk menghargai orang lain adalah tidak usil mengganggu barang orang lain. Aku seringkali tidak habis pikir mengapa kita seringkali usil untuk menyentuh kendaraan orang lain meskipun dengan hanya satu telunjuk ketika sambil berlalu. Satu ujung telunjuk meninggalkan jejak karena lemak yang ada di ujung telunjuk kita tersebut. Semestinya kita berpikir bahwa pemilik kendaraan telah bersusah payah mengeluarkan energi maupun uangnya untuk mencuci kendaraan tersebut hingga indah dipandang mata. Kalau kita berpikir lebih jauh lagi bahwa sesungguhnya pemilik kendaraan tersebut telah bersedekah kepada kita melalui keindahan yang diberikannya. Bahkan yang lebih buruk dari itu yaitu meninggalkan goresan-goresan di dinding kendaraan tersebut. Dengan merenung lebih dalam maka sesungguhnya tidak ada hak kita untuk menyentuh kendaraan orang lain tanpa alasan yang jelas. Yang jelas ada adalah kewajiban kita untuk menghargai hak kepemilikan orang lain. Pelajaran inilah yang aku pernah dapatkan ketika aku dahulu berada di Jepang.

Bahkan pelajaran yang lebih aku juga telah dapatkan. Aku baru beberapa bulan saja bermukim di Higashi-Hiroshima ketika gempa besar Kobe terjadi dengan kerusakan yang begitu parah di awal tahun1995. Awal tahun di Jepang adalah musim dingin yang amat menusuk tulang. Di televisi aku melihat mereka, para pengungsi, dengan sabar mengantri untuk mendapatkan jatah selimut dan makanan meskipun mereka terlihat kedinginan dan tentu juga kelaparan. Para pengungsi itu saling menghargai; ada hak orang lain yang harus dihargai selain hak pribadi kita sendiri. Alangkah tinggi adab dan indah hidup kita bila episode ini ada juga di dalam jati diri bangsa ini.

Senin, 07 Maret 2011

Transfer Teknologi? Eit, Tunggu Dulu...

Di berbagai kesempatan baik kuliah maupun pertemuan bimbingan dan ngobrol santai dengan para mahasiswa, aku sering menanyakan apakah kamu mempercayai bahwa ada transfer teknologi dan ini gratis?

Baiklah, aku ingin menceritakan pengalamanku menimba ilmu di negeri saudara tertua, Jepang. Tiba saatnya memulai aktivitas di tahun yang baru setelah melewati libur tahun baru. Ini adalah tahun pertama aku memulai  kehidupan akademik di program doktorku di Jepang. Seperti juga di tempat-tempat lain di Jepang, pembimbingku mengumpulkan semua mahasiswa, termasuk aku. Beliau pun berpidato dalam prosesi itu.

“Kalian mesti tahu bahwa kesejahteraan yang kalian nikmati sekarang bukanlah hasil jerih payah kalian,” demikian sensei menyatakan. Aku pun merekam lebih lanjut bahwa jerih payah bapak-ibu kalian serta kakek-nenek kalian dan bahkan ayah-ibu dari kakek-nenek kalian yang telah mengantarkan kemakmuran ini. Usaha yang panjang dan lama untuk mewujudkan kesejahteraan yang dapat dinikmati generasi muda Jepang sekarang. 

Tangki raksasa penyimpan gas di Jepang
“Kita sekarang tetap merasa hangat ketika musim dingin dan sejuk saat musim panas. Dari mana sumber energi itu?” lanjutnya bertanya. Beliau pun menjelaskan bahwa sumber energi gas alam yang digunakan Jepang berasal dari negerinya Rijal-san sambil menunjuk ke arahku dan kemudian tersenyum. Jepang tidak memiliki sumber energi ini sedikitpun.

Industri mobil Jepang
“Sekarang industri mobil kita nomor satu di dunia. Dari mana aluminium yang digunakan oleh industry mobil kita?”  demikian beliau bertanya lagi. Beliau lebih lanjut bercerita bahwa negerinya Rijal-san lah yang memiliki sumber daya mineral ini. Tempatnya di Asahan, Sumatera Utara. Jepang juga tidak memiliki sumber mineral ini sedikitpun. 

“Nah, kalau sumber daya energi dan sumber daya mineral yang membangun kesejahteraan kita tidak miliki, maka dari mana sumber kesejahteraan kita?” pertanyaan pamungkas beliau ajukan lagi. Beliau pun menjawab sendiri bahwa sumbernya adalah kepala. Di dalam kepala kita ini ada otak yang mampu memikirkan dan menghasilkan inovasi dan bahkan invensi yang membawa kesejahteraan kita sekarang. Dengan ketiadaan sumber daya energi dan sumber daya mineral pun kesejahteraan dapat terwujud berkat inovasi dan invensi yang dilahirkan dari pemikiran kita.
Produksi gas LNG
Smelter aluminium
Tenaga ahli berkualitas


“Perhatikan, Rijal-san yang kaya segala macam sumber daya alam dan sekarang berada di sini menuntut ilmu. Kalau ada sejuta orang seperti Rijal-san maka sangat mungkin kita kalah pada waktunya nanti.” Aku pun memahami logika ini. Perbandingan yang begitu sederhana. Di lima puluh tahun ke depan, Indonesia memiliki sumber daya alam + sumber daya manusia berkualitas sedangkan Jepang hanya memiliki sumber daya manusia. Yang terjadi pasti Indonesia mengalahkan Jepang. 

Petuah senada di atas tidak hanya disampaikan di prosesi permulaan bekerja di tahun yang baru di suasana musim dingin awal bulan Januari dengan meneriakkan slogan banzai … banzai … banzai tetapi juga pada acara hanami di suasana musim semi bulan April.

Kalau sudah membandingkan seperti ini, masihkah kita meyakini transfer teknologi diberikan gratis? Kalau pun ada transfer teknologi, maka proses transfer tersebut harus selalu dihargakan dan tidak akan semua frontier technology yang merupakan teknologi kunci akan diberikan. Adalah tugas kolektif kita sebagai bangsa untuk menghasilkan manusia Indonesia yang berpendidikan tinggi yang akan menghasilkan inovasi dan invensi. Pada gilirannya kelak inovasi dan invensi akan menghasilkan kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh generasi depan kita.

Sama Menggunakan Otak, Kenapa Tidak Bisa

Di setiap kesempatan yang memungkinkan, aku selalu menggugat para mahasiswaku. Sungguh aneh kita ini, walaupun sejenis dengan bangsa lain seperti Jepang dan Korea, maksudnya sesama memakan nasi, tetapi produk-produk inovasi dan invensi teknologinya berbeda jauh bagai langit dan bumi. Kekurangan apakah yang menyebabkan inovasi dan invensi teknologi kita tetap tinggal di landasan bumi sedangkan Jepang dan Korea sudah terbang mengangkasa di langit.

Kesempatan itu datang berupa tantangan untuk menghasilkan sebuah instrumen pengukur arus yang dapat membaca arus serendah piko ampere, yaitu satu miliampere dibagi satu milyar. Instrumen piko-ampere meter ini bersama-sama dengan sumber tegangan digunakan untuk mendapatkan resistansi suatu material misalnya insulator kabel listrik yang bernilai tinggi sekali dalam orde giga-ohm. Ia juga digunakan untuk memperoleh karakteristik material dan devais semikonduktor seperti transistor maupun kapasitor. Bahkan ia pun digunakan dalam menyelidiki karakteristik plasma yang terjadi di sekitar wahana ruang angkasa.

Aku pun membentuk satu tim yang berisi mahasiswa S2 dan S1. Ada keraguan di antara mereka apakah tim ini mampu menghasilkan instrument piko-ampere meter yang diinginkan. Aku pun menegaskan sekaligus menepis keraguan mereka dengan mengatakan bahwa di dunia sana, maksudnya Jepang, Korea, dan juga Eropa serta Amerika yang juga memakan karbohidrat, telah menghasilkan instrumen dimaksud dan kita yang mengkonsumsi karbohidrat juga mestinya bisa menghasilkan produk yang sama. Esensi makanan yang masuk ke dalam tubuh kita digunakan untuk menumbuh-kembangkan otak-otak kita. Jadi mestinya otak-otak kita sekarang sama. Kita perlu mengasah otak-otak kita sejak sekarang.

“Pak, ini serius kita akan membuatnya?” masih ada pertanyaan keraguan. Aku hanya mengatakan bahwa mengapa kita masih meragukan kemampuan kita sendiri. Kalau orang lain meragukan kemampuan kita, maka hal ini kita maklumi karena memang kita belum menghasilkan sesuatu. Jika kita ikut meragukan kemampuan diri kita sendiri, ini namanya menyepelekan diri kita sendiri dan terlarang. Mengapa ini terlarang? Karena kita belum memberikan usaha maksimal kita. Sekali kita telah memberikan usaha maksimal kita, maka kita akan memiliki analisis mengapa kita gagal andaikan gagal. Berikutnya kita akan memperbaiki kegagalan itu berdasarkan analisis untuk mencapai cita-cita. Proses terus berulang hingga cita-cita tercapai. Itulah mengapa aku katakan terlarang. 

“Bagaimana langkahnya?” pertanyaan optimis diajukan kepadaku. Mari kita pelajari dengan mengumpulkan paper-paper terkait. Ada paper-paper dari beragam jurnal dan application notes. Dengan melakukan sintesis pengetahuan baru dari paper-paper tersebut dan basis data pengetahuan yang telah berakumulasi di dalam kepala masing-masing anggota tim, kemudian desain diperoleh yang merupakan resultan atau interferensi konstruksi seluruh komponen. Desain berupa scratch pad kemudian dituangkan dalam rangkaian listrik. Aku menyarankan bahwa rangakaian listrik sebaiknya dibuat per bagian fungsional untuk memudahkan analisis seandainya terjadi masalah.

“Pak, ada masalah dengan rangkaian fungsional ini,” ujar salah seorang anggota tim. Aku menimpali itulah mengapa rangkaian per bagian fungsional sangat diperlukan untuk melokalissi permasalahan. Kalian sekarang dapat membayangkan bila rangkaian total dibuat langsung. Bila kita mendapatkan masalah, maka kalian kemungkinan besar langsung putus asa karena begitu kompleksnya rangkaian listrik yang telah dibuat sedangkan asal muasal masalah tidak diketahui.

“Alhamdulillah, seluruh bagian rangkaian fungsional bekerja dengan baik. Langkah selanjutnya?” pertanyaan optimis yang ingin segera memperoleh jawaban. Aku pun meminta dia untuk melakukan kalibrasi arus dan tegangan dengan Calibrator yang tersedia di laboratorium. Selesai dikalibrasi, aku pun mengarahkan dia untuk memperoleh karakter resistor berbagai nilai resistansi, kapasitansi berbagai kapasitor dan kemudian melakukan benchmarking dengan piko-amperemeter komersial seperti produk Keithley maupun Hewlett-Packard (HP).

Elkahfi 100 Programmable Electrometer
Keithley 6514 Programmable Electrometer




HP 4145B Semiconductor Parameter Analyzer

“Alhamdulillah pak, hasil benchmarking antara instrumen buatan kita dan yang dari Keithley maupun HP comparable,” demikian dia mengucapkan puji syukur kepada Tuhan atas hasil olah otak yang telah dilakukan. Aku kemudian mengatakan bahwa kita telah membuktikan bahwa dengan sama menggunakan otak, mengolah akal, kita dapat mencapai hasil yang sama dengan mereka yang ada di  Jepang, Korea, Eropa, maupun Amerika. Tidak ada lagi yang tidak bisa dicapai selagi akal kita mampu membayangkannya.

Sabtu, 05 Maret 2011

Pembungkus Itu Bernama Schroedinger ...

"Assalaamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokaatuh,"
"Selamat pagi."
Inilah dua kalimat pembuka yang selalu aku gunakan menyapa para mahasiswa di awal jam kuliah pagi hari.

"Selamat berjumpa dengan kuliah Kuantum, tepatnya Fisika Kuantum FI XXXX," sambil tersenyum aku melanjutkan sapaan ketika itu. Di pertemuan pertama, aku selalu menjelaskan kontrak belajar, silabus dan topik bahasan yang akan dilalui selama enam belas minggu perkuliahan. Ada sebuah kenyataan bahwa Fisika Kuantum menjadi momok yang menakutkan bagi setiap mahasiswa Fisika. "Kenapa ya?" aku melanjutkan pertanyaan. Para mahasiswa peserta kuliah menjawab, "senior bercerita bahwa kuliah ini sulit sekali sehingga banyak yang tidak bisa menjawab soal ujian sehingga banyak yang tidak lulus." Aku juga tidak bisa mengerti mengapa begitu kuat pengaruh cerita senior soal kuliah ini. Mitos, dalam budaya kita, memang begitu kuat memengaruhi alur kehidupan sebagian dari kita bahkan kita yang sudah berpendidikan cukup tinggi, seperti juga para mahasiswa.

Erwin Schroedinger
(dari http://nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/1933/)




“Fisika Kuantum yang kalian akan pelajari hanya berfokus pada Persamaan Schrӧdinger.” Bingung juga aku melihat mereka para mahasiswa yang takut dengan “Schrӧdinger”, seorang manusia juga yang kebetulan sebagai fisikawan yang sangat terkenal. Ada yang salah dengan para mahasiswa yang begitu ngeri mendengar nama Erwin Schrӧdinger, seorang pemenang Nobel Fisika di tahun 1933 bersama Paul Dirac. Apa yang membuat kesalahan ini sehingga seorang mahasiswa takut “bergaul” dengan hasil mahakarya seorang terkenal? Logika seharusnya, keterkenalan seseorang menjadikan magnet yang menciptakan daya tarik tersendiri para mahasiswa dan pemuda untuk lebih mengenal mahakaryanya. Tetapi, kenyataannya di mahasiswa fisika, nama Schrӧdinger sangat ditakuti.

“Keterkenalan melahirkan mitos yang melahirkan ketakutan?” benakku bertanya. Kelihatannya, mitosnya yang dipelihara, bukan hasil mahakaryanya yang dipelajari. Tetapi bagaimana meluruhkan mitos tersebut dan dalam waktu bersamaan membangkitkan keinginan mempelajari hasil mahakaryanya. Aku bilang kepada para mahasiswaku bahwa Schrӧdinger adalah seorang manusia biasa yang cinta fisika. Karena kecintaannya itu, ia mampu memformulasikan pengetahuan baru jaman itu dan sekarang disebut persamaan Schrӧdinger. Semestinya para mahasiswaku mau dan berkeinginan seperti Schrӧdinger yang begitu cinta fisika.

“Sekarang lihat ke papan tulis,” seraya aku menulis sebuah persamaan. Ketika aku menanyakan kepada para mahasiswaku tentang yang aku tulis, mereka mengenal dengan baik bahwa itu adalah persamaan diferensial. Lebih lanjut mereka dapat mendeskripsikan dengan baik bahwa yang aku tulis adalah persamaan diferensial biasa orde dua dan homogen. Aku lebih lanjut mengingatkan bahwa kalian para mahasiswaku telah mendapat kuliah Kalkulus II yang mempelajari persamaan diferensial tersebut. Solusi umumnya pun mereka tahu bahwa ada dua dan untuk mendapatkan solusi khususnya pun mereka juga tahu bahwa cukup menerapkan dua syarat batas. Kalau para mahasiswaku begitu lancar mengerti cara penyelesaian persamaan diferensial biasa orde dua dan homogen, kenapa tidak bisa memecahkan persamaan Schrӧdinger? Unbelievable!!! Ketahuilah, yang telah aku tuliskan itu adalah persamaan Schrӧdinger. Mereka terperangah. 

“Mengapa kalian menjadi begitu ciut melihat pembungkusnya?” demikian aku bertanya dalam hati. Pembungkus itu adalah penghargaan orang lain atas hasil mahakarya Schrӧdinger. Aku menilai bahwa kalian para mahasiswaku sudah mengetahui isinya. Isinya yang perlu dimakan dan dicerna untuk menghasilkan karya bahkan mahakarya lain. Pembungkus memang kadang diperlukan agar menarik. Tetapi, bila pembungkusnya menciutkan hati kenapa tidak dilepas dan dibuang bungkusnya untuk melihat dan kemudian memakan serta mencerna isinya.