"Assalaamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokaatuh,"
"Selamat pagi."
Inilah dua kalimat pembuka yang selalu aku gunakan menyapa para mahasiswa di awal jam kuliah pagi hari.
"Selamat berjumpa dengan kuliah Kuantum, tepatnya Fisika Kuantum FI XXXX," sambil tersenyum aku melanjutkan sapaan ketika itu. Di pertemuan pertama, aku selalu menjelaskan kontrak belajar, silabus dan topik bahasan yang akan dilalui selama enam belas minggu perkuliahan. Ada sebuah kenyataan bahwa Fisika Kuantum menjadi momok yang menakutkan bagi setiap mahasiswa Fisika. "Kenapa ya?" aku melanjutkan pertanyaan. Para mahasiswa peserta kuliah menjawab, "senior bercerita bahwa kuliah ini sulit sekali sehingga banyak yang tidak bisa menjawab soal ujian sehingga banyak yang tidak lulus." Aku juga tidak bisa mengerti mengapa begitu kuat pengaruh cerita senior soal kuliah ini. Mitos, dalam budaya kita, memang begitu kuat memengaruhi alur kehidupan sebagian dari kita bahkan kita yang sudah berpendidikan cukup tinggi, seperti juga para mahasiswa.
Erwin Schroedinger (dari http://nobelprize.org/nobel_prizes/physics/laureates/1933/) |
“Fisika Kuantum yang kalian akan pelajari hanya berfokus pada Persamaan Schrӧdinger.” Bingung juga aku melihat mereka para mahasiswa yang takut dengan “Schrӧdinger”, seorang manusia juga yang kebetulan sebagai fisikawan yang sangat terkenal. Ada yang salah dengan para mahasiswa yang begitu ngeri mendengar nama Erwin Schrӧdinger, seorang pemenang Nobel Fisika di tahun 1933 bersama Paul Dirac. Apa yang membuat kesalahan ini sehingga seorang mahasiswa takut “bergaul” dengan hasil mahakarya seorang terkenal? Logika seharusnya, keterkenalan seseorang menjadikan magnet yang menciptakan daya tarik tersendiri para mahasiswa dan pemuda untuk lebih mengenal mahakaryanya. Tetapi, kenyataannya di mahasiswa fisika, nama Schrӧdinger sangat ditakuti.
“Keterkenalan melahirkan mitos yang melahirkan ketakutan?” benakku bertanya. Kelihatannya, mitosnya yang dipelihara, bukan hasil mahakaryanya yang dipelajari. Tetapi bagaimana meluruhkan mitos tersebut dan dalam waktu bersamaan membangkitkan keinginan mempelajari hasil mahakaryanya. Aku bilang kepada para mahasiswaku bahwa Schrӧdinger adalah seorang manusia biasa yang cinta fisika. Karena kecintaannya itu, ia mampu memformulasikan pengetahuan baru jaman itu dan sekarang disebut persamaan Schrӧdinger. Semestinya para mahasiswaku mau dan berkeinginan seperti Schrӧdinger yang begitu cinta fisika.
“Sekarang lihat ke papan tulis,” seraya aku menulis sebuah persamaan. Ketika aku menanyakan kepada para mahasiswaku tentang yang aku tulis, mereka mengenal dengan baik bahwa itu adalah persamaan diferensial. Lebih lanjut mereka dapat mendeskripsikan dengan baik bahwa yang aku tulis adalah persamaan diferensial biasa orde dua dan homogen. Aku lebih lanjut mengingatkan bahwa kalian para mahasiswaku telah mendapat kuliah Kalkulus II yang mempelajari persamaan diferensial tersebut. Solusi umumnya pun mereka tahu bahwa ada dua dan untuk mendapatkan solusi khususnya pun mereka juga tahu bahwa cukup menerapkan dua syarat batas. Kalau para mahasiswaku begitu lancar mengerti cara penyelesaian persamaan diferensial biasa orde dua dan homogen, kenapa tidak bisa memecahkan persamaan Schrӧdinger? Unbelievable!!! Ketahuilah, yang telah aku tuliskan itu adalah persamaan Schrӧdinger. Mereka terperangah.
“Mengapa kalian menjadi begitu ciut melihat pembungkusnya?” demikian aku bertanya dalam hati. Pembungkus itu adalah penghargaan orang lain atas hasil mahakarya Schrӧdinger. Aku menilai bahwa kalian para mahasiswaku sudah mengetahui isinya. Isinya yang perlu dimakan dan dicerna untuk menghasilkan karya bahkan mahakarya lain. Pembungkus memang kadang diperlukan agar menarik. Tetapi, bila pembungkusnya menciutkan hati kenapa tidak dilepas dan dibuang bungkusnya untuk melihat dan kemudian memakan serta mencerna isinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar