Selasa, 15 Juni 2010

Menduniakan Universitas Kita

Oleh Khairurrijal dan Mikrajuddin Abdullah

Sekarang ini banyak perguruan tinggi kita yang menglaim diri mereka sebagai universitas berkelas dunia- world class university. Ada seribu satu jalan yang dapat ditempuh sebanyak cara yang dapat dilakukan. Di dunia, dengan menggunakan metoda perankingan apapun seperti Times Higher Education, Shanghai Jiao Tong, atau ARWU, publikasi ilmiah diakui sebagai salah satu daya ungkit sangat besar yang mengangkat bagi sebuah perguruan tinggi menjadi berkelas dunia.

Menurut Scopus, salah satu basis data publikasi ilmiah dunia, ITB memiliki rekaman jumlah publikasi tertinggi di Indonesia, diikuti oleh UI, UGM, dan IPB dalam lingkup nasional. Dalam lingkup skala ASEAN, Indonesia (jumlah kumulatif 10.000-an) terpaut jauh di bawah negeri jiran Malaysia (50.000-an), dan makin jauh di bawah Singapura (130.000-an). Kurva di bawah juga menunjukkan bahwa daya publikasi (jumlah/tahun) Indonesia masih sangat rendah.

Pertumbuhan publikasi tiga negara ASEAN (Scopus)

Manakah yang akan didahulukan, apakah kuantitas atau kualitas publikasi ilmiah? Ibarat persiapan suatu pertandingan bulutangkis misalnya, kualitas yang ingin dicapai adalah juara. Untuk mencapai juara, pemain harus berlatih, berlatih, dan berlatih. Kuantitas tinggi dari latihan tersebut sangat diperlukan agar gelar juara bisa didapat dan terus dipertahankan. Nampaknya, ada nilai kritis dari kuantitas latihan yang harus dipenuhi agar menjadi juara. Jadi, sebanyak mungkin publikasi ilmiah dari seluruh perguruan tinggi kita diindeks oleh Scopus. Dengan kuantitas yang terus meninggi, diharapkan kualitas publikasi otomatis ikut terus meningkat.

Ada dua variabel yang berperan utama dalam kuantitas publikasi, yaitu daya publikasi yang berarti jumlah publikasi per tahun dan waktu yang diperlukan. Dengan populasi sekira 7000-an doktor di seluruh perguruan tinggi Indonesia, menurut Direktori Doktor Indonesia dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan dalam setahun seorang doktor tersebut membimbing 2 mahasiswa pascasarjana yang mampu menulis sebuah makalah per orang untuk publikasi internasional, maka kita memiliki daya publikasi 21.000 makalah per tahun. Ini menjadi potensi sangat besar untuk direkam atau diindeks oleh Scopus. Dalam empat tahun ke depan, di akhir pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Indonesia dengan demikian akan menambah 84.000 makalah. Di akhir tahun 2013 berarti Indonesia melampaui Malaysia dan mulai mendekati Singapura. Percepatan yang sangat mencengangkan dan perguruan tinggi Indonesia mulai mendunia!

Publikasi ilmiah yang terekam dalam Scopus dikelompokkan dalam 2 kategori utama: makalah di jurnal internasional dan makalah di prosiding konferensi internasional. Waktu proses yang diperlukan untuk menerbitkan makalah di jurnal internasional umumnya lebih lama dari prosiding konferensi internasional meskipun keduanya direview oleh para pakar. Melihat kenyataan tersebut, peluang menduniakan seluruh perguruan tinggi Indonesia makin besar melalui usaha memasukkan prosiding dari konferensi internasional yang diselenggarakan di Indonesia ke dalam Scopus.

Seandainya konferensi internasional tidak dilangsungkan di Indonesia, besar sekali ongkos yang harus dikeluarkan jika dilakukan di luar negeri. Ongkos membiayai seorang peneliti untuk memresentasikan makalahnya ke luar negeri sekira sepuluh kali lipat lebih mahal. Faktor kemahalan ini menjadi hambatan intrinsik terhadap percepatan menduniakan perguruan tinggi kita. Dengan pelaksanaan konferensi internasional di Indonesia, ekonomi bangsa juga akan terus berdenyut karena adanya order alat tulis kantor, katering dan restoran, serta hotel dan penginapan, bahkan juga pariwisata. Dengan demikian, sebanyak mungkin konferensi internasional diselenggarakan di Indonesia dan prosidingnya dimasukkan ke Scopus.

Tidak sulit memasukkan prosiding konferensi internasional agar makalahnya direkam/diindeks oleh Scopus. Banyak masyarakat ilmiah dunia yang mengindeks publikasi mereka ke Scopus. Sebagai contoh American Institute of Physics (AIP) yang memublikasikan makalah yang dipresentasikan di berbagai konferensi internasional dari seluruh seluruh penjuru dunia. Cukup mengontak AIP melalui surat elektronik dan kemudian membuat kontrak yang hanya memakan waktu 2-3 hari kerja. Dengan membayar sekira 30-an dolar Amerika per makalah, makalah-makalah tersebut akan terbit dan langsung masuk ke Scopus. Jalur lain adalah langsung ke penerbit besar dunia seperti Elsevier yang melayani bidang sosial dan perilaku, selain bidang sains dan rekayasa.

Tentu ada biaya untuk menduniakan perguruan tinggi kita. Mari kita berhitung sederhana. Registrasi untuk memresentasikan sebuah makalah tersebut di konferensi internasional di Indonesia sekira sejuta rupiah, sudah termasuk biaya memasukkan makalah tersebut ke Scopus sekira 30-an dolar Amerika melalui masyarakat ilmiah atau penerbit dunia. Kemudian, akomodasi dan transportasi sekira tiga-empat juta rupiah. Harga sebuah makalah yang diindeks Scopus menjadi maksimum lima juta rupiah; bandingkan dengan biaya menghadiri konferensi di Eropa yang sekira 30-40 juta rupiah. Lima juta rupiah yang tetap berputar di dalam negeri atau 30-40 juta terbang ke luar negeri? Mari bijak memilih. Jadi, untuk 21.000 makalah per tahun, anggaran biaya yang harus disediakan setiap tahun berkisar 84-105 milyar rupiah. Angka ini kurang 0,05 persen dari anggaran pendidikan APBN 2010 sekira 220 trilyun rupiah. Dengan anggaran kurang dari 0,05 persen dari anggaran pendidikan, publikasi ilmiah menjadi daya ungkit yang sangat besar bagi perguruan tinggi kita menjadi berkelas dunia.

Untuk mengimplementasikannya di lapangan juga tidak sulit. Dari pengalaman kami menyelenggarakan beberapa konferensi internasional, jumlah 100 makalah per konferensi sudah biasa. Mengingat sekitar 25 makalah dari luar negeri, berarti ada 75 makalah dari dalam negeri. Setiap tahun berarti ada sekira 300 konferensi internasional untuk menampung 21.000 makalah dari seluruh perguruan tinggi Indonesia. Dengan sekira 50 perguruan tinggi, dari lebih 400 perguruan tinggi menurut Pusat Data & Analisa Tempo (PDAT), yang mampu menyelenggarakan konferensi internasional tersebut, maka hanya setiap perguruan tinggi tersebut hanya perlu menyelenggarakan 6 konferensi internasional per tahun. Sebuah event yang wajar dan sekali lagi roda ekonomi di sekitar perguruan tinggi tersebut khususnya terus berputar. Dengan demikian, penyelenggaraan konferensi internasional di Indonesia tersebut mengurangi perginya rupiah ke luar negeri secara signifikan, menghidupkan roda ekonomi masyarakat, dan sekaligus menduniakan peguruan tinggi kita.

Terakhir namun tetap yang sangat penting. Musuh utama publikasi masif ini adalah scientific misconduct yang dapat berwujud fabrikasi data dan plagiarisme. Proses yang baik dan benar dalam melakukan riset, menyiapkan makalah, hingga memresentasikannya menjadi salah satu latihan dalam pendidikan karakter sehingga dihasilkan manusia berpendidikan yang jujur.

Akhirnya, publikasi ilmiah internasional menjadi daya ungkit sangat besar yang akan mengangkat perguruan tinggi Indonesia menjadi berkelas dunia. Anggaran yang relatif kecil dikeluarkan untuk menyelenggarakan konferensi internasional bermutu di Indonesia dan memublikasikannya sehingga terindeks di basis data publikasi dunia seperti Scopus.

3 komentar:

  1. subhannallah,
    mengingatkan kita untuk terus berkarya....

    BalasHapus
  2. Publikasi mungkin cuma 0,05 persen dari anggaran pendidikan, tapi saya kira kita perlu memperhitungkan juga biaya penelitian, sehingga publikasi itu sendiri bisa lahir. Walaupun ada bidang-bidang tertentu yang biasanya tidak perlu modal (terlalu) banyak untuk penelitian, misalnya bidang teori atau ilmu komputer, mereka paling tidak tetap perlu membiayai SDM karena mahasiswa pasca sarjana juga perlu makan, apalagi kalau sudah berkeluarga.

    Sekedar usul, untuk menghemat biaya publikasi, bisa juga publikasi dipusatkan ke jurnal, misalnya Elsevier, seperti yang sudah disebutkan penulis, walaupun saya tidak mengabaikan pentingnya tatap muka dengan sesama peneliti dalam konferensi.

    BalasHapus
  3. Publikasi di jurnal memerlukan waktu yang umumnya panjang karena proses review yang ketat bahkan cenderung sangat ketat. Akibatnya jumlah makalah yang diterima juga sedikit. Artinya daya publikasi (publikasi per tahun) juga kecil.

    Publikasi di prosiding proses reviewnya biasanya lebih singkat dan tidak seketat untuk ke jurnal. Peluang untuk menerbitkan makalah dalam jumlah besar juga besar.

    Strategi daya publikasi besar kami usulkan dalam tulisan mengingat peluang tersebut. Makalah di prosiding sebanyak mungkin. Sejalan dengan waktu, kualitas mengikuti dengan cara publikasi di jurnal.

    BalasHapus